Oleh: R. Yahya*
Saya menulis apa? Apa yang saya tulis? Itulah kalimat-kalimat pertama yang terlintas dalam pikiran saya ketika memulai tulisan ini. Terkait dengan dua kalimat tanya di atas, sempat saya baca dalam sebuah buku yang dimiliki oleh salah satu teman saya di pondok yang berjudul Menulis Itu Jenius. Dari buku tersebut terdapat berbagai macam kalimat motivasi pada setiap halamannya, bagi setiap orang yang masih amatir dalam dunia menulis dan berminat untuk menyelaminya.
Dari
sekian banyaknya kalimat motivasi yang dimuat pada buku tersebut, namun hanya
satu kalimat yang mampu menjadi sebuah pelecut bagi saya untuk senantiasa terus
menulis. Kalimat tersebut seakan memang ditakdirkan bagi saya untuk memahaminya
pada awal saya membuka buku tersebut. Ajaibnya, hmm.. mungkin ngga ajaib juga,
sih. Biasa aja. Pada awal saya menyentuh dan membukanya, saya tidak mencari
halaman pertama dari buku tersebut ataupun kata-kata pendahuluannya, melainkan
saya membuka buku itu dengan secara tidak sengaja langsung tertuju pada suatu
halaman yang di dalamnya terdapat kalimat yang maknanya sungguh menghanyutkan
saya pada lautan inspirasi dan samudera motivasi. Melecut jiwa saya yang
berpotensi untuk selalu beraksi, mengukir segala makna yang tampak dalam berbagai
macam fenomena, dan menorehkan rangkaian kata-katanya melalui sebuah pena.
“when
you are writing a first draft, don’t worry if what comes out is any good or
not. Just write!” semacam itulah rangkaian kata yang saya singgung dari awal
mula tadi, sederhana namun bermakna. Sebuah kalimat yang cukup mendukung saya
untuk terus beraktifitas menulis, meskipun tidak jarang saya sendiri suka
menunda-nunda selesainya tulisan yang saya kerjakan tersebut. Sehingga, kerap
kali tulisan itu agak sedikit terabaikan jadinya.
Namun,
merujuk kalimat nasihat di atas, menulis merupakan kegiatan yang mempunyai
nilai skala prioritas yang cukup tinggi dibandingkan kegiatan yang lain.
Bolehlah kita melaksanakan aktifitas yang bermanfaat lainnya, sebut saja
membaca. Namun, alangkah baiknya apa yang telah kita baca tersebut mampu
dituangkan kembali dalam sebuah bentuk tulisan yang berguna sebagai pengikat
atas apa yang telah dipahami.
Melalui
tulisan itulah berbagai pemahaman, perasaan, wawasan, dan pengetahuan dapat
dikemas dalam wujud rangkaian kata yang awet, rapi, dan menarik untuk
ditelusuri.
Jadi,
teruslah menulis. Meskipun temanya asal, pembahasannya ngaler-ngidul, karakter
hurufnya ngga sampai tiga ribu, dan tujuannya pun agak kurang jelas. Ngga
apa-apa, sing penting nulis! Soalnya, untuk seorang penulis yang masih
berlabel amatiran, waktu menulis itu masih diintensifkan dalam masa-masa
belajar dan khususnya masih dalam pembangunan konsistensi diri untuk tetap dan
terus menulis. Yes, we can..!!
*) Penulis adalah anggota dari API (Asosiasi Penulis Islam)
1 komentar:
Iya akhi....ketika saya tanya para penulis (yang tulisannya dah terbit di media-media)yang sya kenal, ternyata awalnya mereka juga begitu...yang penting nulis. Nulis apa saja. Pak Adian Husaini juga begitu. Katanya, kalau perlu, untuk membiasakan menulis, buatlah catatan harian (diary). Pak Adian, katanya, nulis diary sejak SMA and sampai kuliah. Trus, A. Fuadi, penulis negeri 5 menara, juga tetap nulis diary ketika di Amerika. Jadi intinya, nulis aja....o ya, ada pesan dari pak Adnin Armas: "kalau belum menulis, belum dikatakan belajar". Jadi kalau mau benar-benar belajar, seharusnya juga menulis...kekep spirit :-)
Posting Komentar